Minggu, 09 Januari 2011

Gudang Beras Dabo Singkep-KEPRI

Gudang beras peninggalan PT.TIMAH SINGKEP

pariwisata lingga, dabo singkepgedung ini lumayan megah, yang dulunya dijadikan sebagai gudang penyimpanan beras yang diperuntuk untuk di bagikan kepada karyawan-karyawan yang bekerja di PT.Timah singkep



Sekarang gedung ini tidak terpakai lagi, dan belum di manfaatkan buat apapun.

Sejarah Dabo Singkep-KEPRI

Dabosingkep sebagai ibukota kecamatan Singkep pernah dikenal sebagai “kota timah” selain Pangkal Pinang (Bangka) dan Tanjung Pandan (Belitung). Kehadiran perusahaan penambangan timah selama sejak 1812 – 1992 (direct atau indirect) telah meninggalkan infrastruktur yang sekarang menjadi aset Pemda setempat dan departemen teknis seperti bandara, pelabuhan laut, jalan raya, prasarana listrik, air minum, telekomunikasi, rumah sakit, bangunan bank, perkantoran perusahaan timah, unit-unit bangunan perumahan karyawan, dan sebagainya.
Bandara Dabo dapat didarati pesawat jenis Fokker-27, sedangkan pelabuhan laut telah mengalami renovasi dari anggaran APBN , dengan harapan dapat disinggahi oleh kapal-kapal ukuran menengah dari Jakarta, Bangka menuju Batam atau Tanjung Pinang. Sedang fasilitas komunikasi dengan kode area 0776 sudah menyediakan kontak Saluran Langsung Jarak Jauh (SLJJ).

Sebagai wilayah pembantu Kabupaten Kepulauan Riau (administrative support)
Secara administratif Dabosingkep pernah sebagai “ibukota” pembantu Kabupaten Kepulauan Riau yang mewilayahi Kecamatan Singkep, Kecamatan Lingga, dan Kecamatan Senayang sebelum itu dihapus tahun lalu.

Pusat pendidikan bagi tiga kecamatan (suitable for education)
Dabosingkep memiliki 2 SMU negeri dan 2 SMP negeri dan beberapa lembaga edukasi menengah lainnya. Dibanding Daik Lingga dan Senayang, fasilitas pendidikan di Dabosingkep relatif lebih baik.

Memiliki populasi relatif lebih besar (higher population)
Dibanding 2 ibukota kecamatan lainnya, populasi kota Dabosingkep relatif lebih besar. Walau pernah mengalami penurunan jumlah penduduk akibat “putus hubungan” dengan PT. Timah, namun sejak tahun 1996 jumlah penduduk kota ini terus bertambah. Hal ini mendukung aktivitas perkonomian (economic activity) kecamatan Singkep secara keseluruhan.

Memiliki kapasitas lahan untuk pertumbuhan pembangunan (land capacity for growth)
Dabosingkep masih memiliki lahan yang cukup luas untuk menampung pertumbuhan pembangunan, disamping lahan yang relatif datar juga memiliki akses yang cukup luas terhadap prasarana yang tersedia.
Partisipasi masyarakat (community participation)
Akibat dari restrukturisasi PT. Timah beberapa tahun lalu menyebabkan banyaknya pengangguran (unemployment). Kondisi ini telah menyebabkan para penganggur yang telah berpengalaman itu mencari kerja ke Batam, Tanjung Pinang, Karimun, Jambi, dan sebagainya. Sebagian dari pengangguran itu masih bertahan di Dabosingkep dengan aktivitasnya sendiri. Diharapkan dengan ditetapkannya Dabosingkep sebagai ibukota kabupaten maka sebagian besar pengangguran itu dapat tertampung di berbagai kegiatan pembangunan.

Letak dan kualitas bangunan yang sudah tertata (landscape setting and quality)
Selama hampir 2 abad kegiatan penambangan timah memberi dampak pada terbentuknya bangunan yang cukup tertata rapi (walau masih perlu sedikit pembenahan) seperti letak rumah sakit, pembangkit listrik, air minum, bandara, pelabuhan laut, dan sebagainya.

Memiliki ragam etnik populasi (multi ethnic nature of city)
Kota ini memiliki ragam etnis populasi seperti melayu, jawa, minang, cina, bugis yang sudah mengalami akulturasi cukup lama.
Sebagai contoh banyak orang melayu menikah dengan orang bugis, jawa, cina, dan sebagainya. Komunitas cina dan minang dalam hal ini sangat berperan dalam perekonomian setempat.

Kelemahan (weakness)
Kurangnya aktivitas komersial (insufficient commercial activity)
Sejak ditinggalkan oleh PT. Timah, aktivitas komersial di kota Dabosingkep menurun drastis. Tidak seperti Tanjung Balai Karimun atau Tanjung Pinang yang memiliki keuntungan karena kedekatan wilayah dengan Singapore, aktivitas perdagangan dan komersial lainnya di kota ini sangat terbatas. Kini jalur-jalur perdagangan dalam skala terbatas masih dilakukan antara lain dengan Tanjung Pinang dan Jambi. Selain itu kota ini sangat kurang dalam ragam aktivitas ekonomi (lack of economic diversification).

Tergantung dengan kehadiran daerah lain (too dependent upon the other region) Dalam kenyataan kini Dabosingkep sangat tergantung pada kehadiran kota Tanjung Pinang sebagai ibukota kabupaten untuk urusan-urusan formal dan Jambi dalam hal memasok kebutuhan pokok masyarakat.

Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam kepemilikan (lack of community involvement in ownership)
Kepemilikan masyarakat terhadap suatu aset sangat terbatas khususnya terhadap unit-unit bangunan dan aset peninggalan PT. Timah. Ini akan menyulitkan dalam hal pembebasan lahan sementara statusnya belum jelas.

Kerugian pada masyarakat berpendapatan rendah (low income groups disadvantage)
Sebagaimana yang terjadi kini, urusan pemerintahan, pendidikan dan urusan formal lainnya di Dabosingkep harus melalui Tanjung Pinang sebagai ibukota Kabupaten. Ini mengakibatkan biaya tinggi (high cost) bagi masyarakat berpendapatan rendah. Selain itu harga barang kebutuhan pokok (sembako) dan biaya jasa/ pelayanan disini relatif lebih mahal.

Kurangnya sarana transportasi (lack of public transport)
Selain sarana angkutan laut yang terbatas, Dabosingkep juga kekurangan sarana transportasi darat seperti angkutan umum, bus dan taksi.

Kurangnya pengelolaan objek wisata (under developed tourism)
Dabosingkep tidak seberuntung Tanjung Balai Karimun, yang walaupun kurang objek wisata namun memiliki karakteristik seperti Singapore tahun 1970-an, sehigga turis dari negeri jiran tersebut tidak segan untuk membelanjakan uangnya disana. Sebaliknya Dabosingkep, selain relatif lebih jauh dari Singapore, juga tidak memiliki objek wisata yang terkelola dengan baik. Sedangkan sektor pariwisata ini sangat berperan dalam memberikan value added dan kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi perekonomian wilayah Kepulauan Riau, Batam dan Karimun secara keseluruhan.

Peluang-peluang (Opportunies)
Hubungan langsung dengan Tanjung Pinang dan Jambi (corridor link to Tanjung Pinang and Jambi)
Tanjung Pinang termasuk dalam kawasan industri baik industri pengolahan maupun industri pariwisata. Wilayah ini juga memiliki akses yang baik dengan Singapore, Batam, dan Karimun. Adanya corridor antara Dabosingkep dan Tanjung Pinang memberi peluang yang luas bagi pertumbuhan ekonomi Dabosingkep dimasa mendatang.
Selain Tanjung Pinang, Dabosingkep juga memiliki corridor dengan Jambi yang adalah merupakan satu-satunya ibukota propinsi di Pulau Sumatera yang paling dekat dengan Dabosingkep saat ini. Peluang perdagangan dan perekonomian yang lebih luas akan tercipta bila prasarana yang ada dapat digunakan seoptimal mungkin seperti penggunaan bandara Dabo dan pelabuhan laut yang ada. Seperti yang dirilis dalam Riau Pos tanggal 18 Februari 2001 dengan titel “Riau Airlines Menerobos Keterisolasian Daerah”. Dengan adanya rencana Pemda Propinsi Riau untuk memanfaatkan bandara yang ada di seluruh Riau termasuk Bandara Dabo, maka melalui jalur penerbangan yang dilewati Riau Airlines akan menciptakan multiplier effect bagi perekonomian setempat dari kemudahan investment. Jalur penerbangan ini akan menciptakan corridor “baru” dengan Batam (terakhir corridor itu terputus tahun 1996/1997 putusnya jalur penerbangan pesawat jenis SMAC dari Jambi-Dabosingkep-Batam) dalam rangka ikut berkiprah dalam kancah perekonomian global.

Hubungan dengan “kota-kota utama” (linking with main cities)
Selain Jambi, Tanjung Pinang dan Batam, kota ini memiliki hubungan yang relatif tidak jauh dengan “kota-kota utama” seperti Kuala Tungkal (ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi), Muara Sabak (ibukota Tanjung Jabung Timur-Jambi) yang memiliki pelabuhan bebas, dan Tanjung Balai Karimun (Kabupaten Karimun) dan Pangkal Pinang (ibukota Propinsi Bangka-Belitung). Kondisi ini menciptakan peluang ekonomi dalam skala yang lebih luas.

Memiliki sumberdaya alam yang mendukung (natural resources)
Dalam berita Harian Kompas tanggal 24 Juli 2000 dikatakan bahwa Pulau Singkep Masih menyimpan 200 ribu ton timah. Sebuah perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri akan menghidupkan kembali aktivitas pertambangan yang sempat terhenti sejak tahun 1992. Kegiatan penambangan itu disamping memberikan kontribusi bagi perekonomian juga dapat menampung tenaga pengangguran akibat restrukturisasi PT. Timah. Dengan ramainya aktivitas penambangan ini akan berdampak pada peningkatan perekonomian kota Dabosingkep dengan prasarana yang dapat diakses oleh perusahaan penambangan.
Sumberdaya alam lain yang dimiliki antara lain di sektor perikanan. Itu terlihat dari banyaknya pendirian rumah penangkapan ikan teri (kelong) disepanjang perairan pulau Singkep.

Ancaman (threats)
Kerusakan lingkungan yang parah (environmental degradation)
Diperkirakan sekitar 45.000 ha lahan di Pulau Singkep telah dimanfaatkan sebagai basis kegiatan penambangan timah selama hampir seratus delapan puluh tahun. Pulau itu kini dipenuhi dengan danau-danau bekas galian Timah. Kondisi ini semakin diperburuk dengan beroperasinya kegiatan penambangan pasir.
Penambangan pasir dan lepas pantai (offshore mining) dan penebangan hutan (deforestation) serta penggurunan (disertification) mengakibatkan semakin terbatasnya lahan-lahan yang affordable (limit of affordable land) di Pulau Singkep (kekecualian Dabosingkep sebagai ibukota).

Kecenderungan ketidakteraturan pembangunan bangunan baru (threat to landscape quality of city)
Ada kecenderungan di kota Dabosingkep saat ini dimana masyarakat membuat bangunan baru tanpa mengindah ketentuan yang berlaku serta tidak memperhatikan lingkungan.
Pada bangunan bekas peninggalan PT. Timah masih dapat dikatakan tertata cukup rapi, namun melihat kecenderungan dimana saat ini pembangunan bangunan baru sering tidak sesuai dengan tata ruang dan keindahan kota. Sebagai contoh sederhana adalah pembuatan bangunan sarang burung walet di tengah-tengah kota tanpa perduli dengan lingkungan sekitar.

Kultur masyarakat yang cenderung apatis (culture tend to apathetic)
Restrukturisasi PT. Timah pada awal 1990-an yang mem-PHK kan ribuan karyawan telah menyebabkan “luka” yang cukup dalam bagi masyarakat Dabosingkep. “Luka” ini berdampak pada berbagai segi kehidupan masyarakat dan menimbulkan semacam trauma bagi masyarakat khususnya mantan karyawan PT. Timah. Dapat dikatakan dahulunya masyarakat Dabosingkep identik dengan PT. Timah. Dengan demikian ketika PT. Timah melakukan restrukturisasi maka dampaknya identik dengan kondisi masyarakat secara keseluruhan.
Trauma yang dalam ini akan berdampak pada aktivitas mereka keseharian, apalagi bila aktivitas itu dikaitkan dengan rencana pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau.

Penutup
Idealnya membangun suatu ibukota pemerintahan adalah dengan sistim planned city seperti Canberra sebagai National Capital di Australia. Namun pembentukan Canberra yang establish sejak 1911 itu memang didukung oleh kondisi pendanaan yang cukup kuat dari Pemerintah Australia. Sebaliknya dengan kondisi perekonomian Indonesia dan Daerah yang belum menentu saat ini, sementara gaung keinginan berotonomi sangat nyaring kedengarannya, maka pilihan yang tepat untuk memilih kota sebagai kota pemerintahan adalah dengan berdasarkan kondisi yang ada dan pertumbuhan alami dari kota tersebut.
Membandingkan antara Dabosingkep dengan Daik Lingga dan Senayang, otomatis kondisi yang memenuhi “kriteria” diatas adalah Dabosingkep. Kita berusaha melihat itu seobyektif mungkin dengan berdasarkan pada ketersediaan infrastructure sebagai persyaratan utama. Hal ini dimaksudkan agar dalam pembangunan selanjutnya, setelah kabupaten pemekaran terbentuk, biaya yang dikeluarkan untuk infrastruktur dapat dialihkan untuk meningkatan perekonomian rakyat yang terpuruk saat ini.
Ada keinginan untuk membentuk Daik Lingga sebagai ibukota kabupaten mengingat secara historis Daik pernah menjadi pusat kerajaan Melayu, dan secara geografis saat ini aksesnya dapat lebih merata dari Dabosingkep dan Senayang dan pulau-pulau kecil lainnya.
Namun dengan kenyataan yang ada, tidak ada pilihan lain kecuali mengambil pilihan yang paling menguntungkan. Bukan tidak mungkin pada masa mendatang kota Daikl Lngga dapat menjadi pusat kebudayaan Melayu dan pengembangan sektor agriculture dan di Senayang didirikan pabrik industri pengolahan sektor perikanan (sesuai Location Theory) karena aksesnya yang relatif dekat dengan kawasan Barelang (Batam, Rempang, Galang).
Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat bagi policy Pemda setempat dalam rangka mendukung strategic planning yang dirancang bagi pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau menjadi Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Selingsing.

Setelah Kejayaan Tambang Timah Berlalu
Joni adalah satu dari puluhan warga Batuberdaun yang saat ini mengais rezeki dengan cara mendulang timah di pesisir pantai kawasan itu.
Setiap pagi, dengan menggunakan sepeda kayuh, mereka berangkat dari rumah menuju pantai Batuberdaun. Berbekal nampan pendulang, sekop dan pengayak, mereka memulai pekerjaan mereka hari itu.
”Sesampai di sini kami tidak dapat langsung bekerja. Harus menunggu air laut surut,” tutur Joni. Saat air surut, mereka berbondong-bondong ke pesisir, memilih tempat yang menurut mereka cukup banyak biji timahnya. Menggunakan sekop, mereka menggali batu dan pasir, lalu diletakkan di pendulangan.
Mereka memutar pendulangan itu sambil berendam di pinggir laut. Pekerjaan itu mereka lakukan hingga tengah hari saat air mulai pasang. Jika beruntung, mereka dapat membawa pulang satu kilogram bijih timah. Jika kurang beruntung, mendapat setengah kilogram bijih timah pun sudah anugerah.
Kepada perusahaan pengumpul, bijih timah itu mereka jual Rp 38.000 per kilogram. ”Lebih baik dibandingkan jika kami bekerja di proyek bangunan. Sebagai pekerja bangunan kami hanya diberi Rp 15.000 per hari,” ungkap Syam, pendulang timah lainnya.
Menjadi pekerja bangunan terpaksa dilakukan kalau cuaca buruk dan air laut tidak kunjung surut. ”Kebun tidak dapat diandalkan dan tidak ada pilihan pekerjaan lain,” Syam menambahkan.
Tambang terbesar
Dalam pelajaran ilmu bumi dulu, Dabo-Singkep, Kepulauan Riau, dikenal di seantero Indonesia sebagai salah satu tambang timah terbesar selain Bangka di Sumatera Selatan. Penambangan telah dimulai sejak 1812 ketika Pemerintah Hindia Belanda masih menguasai Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, PT Timah mengambil alih pengelolaan tambang tersebut. Mereka membangun infrastruktur hingga terbentuk kota baru.
Ketika PT Timah berhenti beroperasi pada 1992, menurut Camat Dabo Abu Hazim, perekonomian di kawasan itu pun ikut merosot. Warga kehilangan sumber mata pencarian.
”Dulu kendaraan ramai melintasi jalan-jalan di Dabo, tetapi sekarang sepi,” ungkap seorang warga. Pelabuhan udara di Dabo yang dulu ramai dengan para petinggi PT Timah dan warga kini lengang.
”Kemampuan warga terbatas, potensi lain tidak ada,” tutur Ashari, dulu guru di SD milik PT Timah. Bangunan infrastruktur yang tersisa dipakai untuk puskesmas, perumahan, instalasi air minum, serta jaringan jalan.
Bangunan yang terbengkalai antara lain bangunan pengolahan bijih timah—dekat Pasar Dabo. Bangunan itu keropos dan atap sengnya banyak berlubang.
Abu Hazim mengatakan, ”Sejak PT Timah ditutup, persoalan dasar di Dabo yaitu tidak ada lapangan pekerjaan, dan peninggalan PT Timah yang belum terurus.”
Menggali kolong
Warga kini menggali kolong-kolong tambang timah bekas PT Timah, namun hasilnya tak memuaskan.
”Mereka tidak memiliki peta tanah seperti yang dimiliki PT Timah. Tinggal sisanya yang kini didulang penambang tradisional,” kata Ashari.
Beberapa pemodal akhirnya menjual mesin pompa dan areal pertambangan miliknya dengan harga murah. Bekas tambang itu jika digali berisiko biaya tinggi.
”Apalagi belum ada payung hukumnya. Kalaupun ada hasilnya, pihak pemerintah setempat belum dapat meminta retribusi. Semua penambangan yang saat ini dilakukan adalah ilegal,” tutur Abu Hazim, Camat Dabo. Tetapi ia tidak dapat melarang penambangan karena lapangan pekerjaan lain tidak ada.
Ia berharap, Lingga sebagai kabupaten baru dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi penduduk dua kecamatan Dabo dan Singkep yang berpenduduk 38.000 jiwa itu. Dabo-Singkep merupakan kecamatan terpadat Kabupaten Lingga yang berpenduduk total 70.000 jiwa
”Apalagi Dabo-Singkep merupakan kecamatan terpadat di Kabupaten Lingga yang total penduduknya mencapai 70.000 jiwa lebih,” kata Abu.
Melalui pemekaran wilayah itu diharapkan pemerintah dapat membuka lapangan kerja baru seluas-luasnya bagi warga Dabo. Selama ini sebagian besar pemuda di Dabo lebih memilih pindah ke Batam, Tanjung Pinang, atau kota-kota lain di Indonesia untuk bekerja.

Potensi perkebunan
Abu Hazim mengatakan, Dabo dan Singkep sebenarnya memiliki potensi lain di bidang perkebunan. ”Dulu pernah ada investor yang hendak membuka perkebunan sawit di Singkep tetapi hingga saat ini belum terealisasi. Padahal potensinya cukup besar, mencapai lebih dari 20.000 hektar. Juga ada jeruk yang dikelola warga. Potensi itu juga belum dioptimalkan,” tuturnya.
Selama ini, kata Abu Hazim, perolehan pemerintah setempat hanya dari hasil perikanan, perkebunan, dan terutama dari penambangan pasir.
Ada enam perusahaan penambang pasir di Dabo-Singkep yang bekerja di atas lahan seluas 239.282 hektar.
”Setiap tahun Pemerintah Kabupaten Lingga memperoleh Rp 2 miliar dari penambangan pasir. Sekitar Rp 70 miliar perolehan pemerintah dari pajak,” ungkap Abu Hazim.
Perolehan pemerintah daerah juga masih seret karena belum ada peraturan daerah tentang retribusi beberapa kegiatan ekonomi. Seperti misalnya untuk usaha sarang walet yang saat ini sedang menjamur di Dabo.
Kini perolehan hanya dari penambangan pasir. Ini sebenarnya disayangkan warga. ”Sebentar lagi kami ini hanya punya air saja, tidak lagi tanah air. Karena tanah-tanah di sini sudah dijual semua. Dulu timah kami diserap habis. Sekarang ini pasir kami dijual juga. Dapat dilihat, sebentar lagi akan ada sungai besar di Dabo karena pengerukan pasir itu,” ungkap seorang warga.
Saat memasuki hutan di kawasan air panas, Dabo, truk-truk besar lalu-lalang mengangkut berton-ton pasir berarak ke pelabuhan. Dengan kapal tongkang pasir-pasir itu keluar. Konon, ungkap warga Dabo, pasir-pasir itu dijual ke Singapura.
Lenyap sudah kejayaan pertambangan timah yang dulu sempat memakmurkan warga Dabo-Singkep. Dan kini, jika tidak berhati-hati, kekayaan lainnya pun akan ikut pergi jika tidak dikelola dengan baik. Yang pasti warga masih mengais dan mendulang timah di kolong-kolong tambang.

Ibukota: Daik atau Dabo? Capital: Daik or Dabo

Beberapa waktu yang lalu, penentuan lokasi ibukota Kabupaten Lingga menarik banyak perhatian. Pilihan: Daik atau Dabo?
Ada dua sudut pandang utama yang digunakan, yakni, pandangan sejarah dan pandangan pragmatis. 
Menurut sejarah, Daik merupakan bekas kerajaan Melayu sehingga sangat pantas menjadi ibukota kabupaten. 
Dari sudut pragmatis (tanpa teori yang rumit), Dabo secara fisik lebih siap menjadi pusat pemerintahan kabupaten. 
Secara keseluruhan, fasilitas di Dabo lebih memadai daripada yang di Daik, misalnya, jaringan telepon, bangunan kantor, tempat penginapan dan hotel, serta sarana transportasi (jalan aspal, pelabuhan dan lapangan terbang).
Yang jelas, keputusan telah diabil: Daik jadi ibukota.
Demi kemajuan daerah, lebih baik keputusan tentang ibukota Kabupaten Lingga kita dukung, bukan?

Sabtu, 08 Januari 2011

Pulau Penyengat: Pusat Kesusastraan Kerajaan Lingga-Kepulauan Riau

Pulau Penyengat merupakan sebuah pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Riau. Tempat ini mengalami pembangunan yang pesat pada masa Raja Ja’far, pada tahun 1806 (Mu’jizah, 1998:102). Pulau yang luasnya 3,5 km2 ini mempunyai beberpa kampung, diantaranya Kampung Jambat, Kampung Bulang, Kampung, Balik Kota, Kampung Datuk, Kampung Ladi, Kampung Baru, dan Kampung Tengah.
Pulau Penyengat awalnya adalah sebagai tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda Lingga-Riau, sedangkan sultan berkedudukan di Daik Lingga. Yang Dipertuan Muda Lingga-Riau adalah keturunan Bugis, sedangkan Sultan Lingga-Riau adalah keturunan Melayu, pembagian kekuasaan ini terjadi karena adanya perjanjian dahulu saat Sultan Melayu meminta bantuan pada orang-orang Bugis untuk melawan orang-orang Minangkabau.
Pada perkembangannya Sultan Lingga-Riau pindah ke Pulau Penyengat karena tempatnya yang strategis sebagai pusat pertahanan kerajaan. Saat itulah Pulau Penyengat menjadi pusat pemerintahan yang ramai dan perkembangan kebudayaan tumbuh dengan cepat. Hal ini juga terjadi karena kemampuan baca-tulis tidak hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan, tetapi juga penduduk biasa, sebut saja Encik Abdullah yang mengarang buku tentang perkawinan penduduk di Pulau Penyengat atau Khatijah Terung yang mengarang buku tentang hubungan seksual suami isteri yang berjudul Kumpulan Gunawan.
Berikut ini adalah karya-karya yang muncul pada masa pemerintahan Lingga-Riau, dengan pengecualian karya-karya Raja Ali Haji karena beliau dan karyanya akan dibicarakan khusus setelah bagian ini.
1. Kitab Tarasul, tidak ada nama pengarang
2. Kitan Adab al-Muluk oleh Datuk Syahbandar Riau
3. Syair Siti Zawiyah oleh Bilal Abu
4. Syair Raksi, Syair Engku Putri, Syair Perang Johor, dan Tuhfat an-Nafis oleh Raja Ahmad.
5. Hikayat Riau dan Syair Nasihat oleh Raja Ali
6. Syair Sultan Yahya oleh Daeng Wuh
7. Syair Madi, Syair Kahar Masyhur, Syair Sarkan, dan Syair Encik Dosaman oleh Raja Abdullah.
8. Hikayat Siak atau Sejarah Raja-Raja Melayu dan Sejarah Raja-Raja Riau oleh Tengku Sa’id
9. Syair Sultan Mahmud di Lingga oleh Encik Kamariah
10. Syair Burung oleh Raja Hasan
11. Syair Van Ophuysen oleh Raja Haji Sulaiman
12. Syair Kumbang Mengindera oleh Raja Sapiah
13. Syair Saudagar Bodoh oleh Raja Kalsum
14. Syair Sultan Mansur oleh Encik Wuj binti Bilal Abu
15. Syair Hikayat Raja Damsyik, Syair Sidi Ibrahim Khasib, Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor, Ceritera Pak Belalang, Ceritera Kecelakaan Lebai Malang, dan Perhimpoenan Pantoen Melajoe oleh Haji Ibrahim Orangkaya Muda.
16. Syair Pangeran Syarif Hasyim, Asal Ilmi Tabib Melayu, dan Syair Raksi Macam Baru (Ibrahim, 1998: 528—561).
Sebenarnya di masa akhir kerajaan Lingga-Riau sampai keruntuhan sesudahnya, masih ada beberapa karya yang muncul di wilayah bekas kerajaan tersebut. Pulau Penyengat dalam sejarah telah menjadi pusat pemerintahan, pertahanan, kebudayaan, adat-istiadat, dan kesusastraan. Lokasi ini menjadi saksi mata peradaban yang cukup tinggi pada masanya. Pulau Penyengat beserta isi dan karya-karya melayu klasik yang lahir di sana menjadi warisan budaya Indonesia yang tidak dapat dinilai hanya dengan uang. Sudah menjadi kewajiban warga negara yang baik untuk memelihara warisan dari leluhur tersebut.
Raja Ali Haji: Sang Sastrawan dari Pulau Penyengat
Berbicara tentang Pulau Penyengat tidak akan lengkap tanpa seorang intelek yang terkenal sampai penjuru dunia karena karya-karyanya. Dialah Raja Ali Haji yang bernama lengkap Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Asy-Syahidu fi Sabilillah bin Upu Daeng Celak ini dilahirkan pada tahun 1808 di Pulau Penyengat. Keluarga besar beliau terkenal dengan keproduktifan menulis, tetapi Raja Ali Haji-lah yang paling produktif menulis. Beberapa anggota keluarganya yang menghasilkan karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, dan Abu Muhammad Adnan.
Berikut adalah karya-karya Raja Ali Haji, baik yang dikarang sendiri, disalin dari naskah lain, ataupun yang ditulis oleh jurutulis yang diperintahkan olehnya.
1. Gurindam Dua Belas
2. Syair Abdul Muluk
3. Bustan al-Katibin
4. Thamarat al-Muhimmah Diyafah li’l-Umara wa’l-Kubara li Ahli’l-Mahkamah
5. Mukadimmah fi Intizam al-Waza’if al-Mulk Khususan ila Mala’ wa Subhan wa Ikhwan
6. Kitab Pengetahuan Bahasa
7. Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya
8. Tuhfat an-Nafis
9. Syair Hukum Fara’idh
10. Syair Hukum Nikah
11. Syair Suluh Pegawai
12. Syair Siti Sianah
13. Syair Sinar Gemala Mestika (Ibrahim, 1998: 528—561).
Pada kerajaan Lingga-Riau, ternyata Raja Ali Haji juga terkenal sebagai seorang anggota kerajaan dan ulama. Dia sempat lama tinggal di Makkah dan belajar di sana. Sekembalinya dari Makkah, dia diminta oleh Raja Ali, sepupunya, untuk mengajar ilmu keagamaan kepada orang-orang. Salah satu muridnya adalah Raja Abdullah, sepupunya sekaligus adik dari Raja Ali. Raja Ali Haji juga berteman baik dengan von de Wall. Sumbangan karya-karyanya dalam bidang agama, sastra, dan bahasa juga perannya yang penting dalam perlawanan terhadap Belanda, membuat beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Harta Karun Kerajaan Lingga Tercecer Di Pulau Kute

Batam ( Berita ) :  Harta karun bekas kerajaan Lingga terbengkalai dan tercecer di pantai berlumpur Pulau Kute, Lingga. Seorang pengumpul benda bersejarah Tengku Kelana mengatakan kepada ANTARA di Batam, Sabtu [19/04], pada musim-musim tertentu harta karun yang terpendam di tanah berlumpur muncul ke permukaan.

“Biasanya, usai musim hujan, setelah air laut pasang, barang-barang itu bermunculan ke permukaan tanah,” katanya. Hanya diperlukan kayu panjang untuk menemukan harta karun berupa keramik, patung-patung dan pernak-pernik peninggalan Kerajaan Lingga lain. Kayu panjang itu cukup ditusuk-tusukan ke dalam tanah berlumpur, bila kayu membentur benda keras, maka bisa dipastikan itu adalah harta karun.

Menurut Tengku, harta karun yang tersimpan di Pulau Kute tidak rusak meskipun berumur hingga ribuan tahun, karena karakteristik lumpur tidak merusak.”Kalau di pasir, keramik bisa bopeng-bopeng,” katanya.

Ia mengatakan harta karun yang ditemukan di Pulau Kute berasal dari kapal-kapal asing yang karam saat melintasi Selat Malaka, karena berbentuk teluk, maka sisa-sisa kapal yang tenggelam terkumpul di sana. “Mungkin juga berasal dari kapal perompak yang karam,” tambah dia. Karakteristik tanah yang berlumpur diperkirakan menahan benda sejarah itu tertahan saat air laut surut, sehingga tidak terbawa arus laut.

Tengku menemukan berbagai keramik berupa piring dan mangkuk serta aksesoris dan perlengkapan Kerajaan Lingga di antaranya cincin, gelang dan tempat celak (penghitam bulu mata). “Beberapa peninggalan kerajaan saya hibahkan ke Pemerintah kabupaten, tapi ada juga yang masih saya simpan, karena khawatir tidak terurus bila diletakan di museum,” katanya. Di rumahnya, terdapat beberapa keris khas Melayu peninggalan Kerajaan Lingga.

Dijual
Selain Tengku, warga Lingga lain menemukan patung Marcoplo yang kini telah dibeli warga Belanda. Beberapa warga Lingga menjadikan jual beli harta karun itu sebagai penghasilan tambahan, karena harga barang sejarah itu ditawarkan harga tinggi oleh rumah lelang di Singapura.
Setiap bulan, rumah lelang mengeluarkan daftar barang prasejarah yang dicari, berikut tawaran harga dalam sebuah buku. Dari buku tersebut, warga Lingga mencocokan benda yang mereka miliki.
Tengku pernah menjual piring seharga puluhan juta.Akhir Maret 2008, mangkuk milik Tengku dihargai Rp300 juta oleh makelar asal Malaysia.Mangkuk yang diperkirakan berumur sekitar 1.000 tahun, peninggalan Dinasti Ming itu istimewa, karena makanan yang diletakan di atasnya anti basi. “Ketika dites, santan diletakkan di atasnya selama tiga hari, dan hasilnya tidak basi,” katanya. Namun, ia menolak untuk menjualnya. Selain itu, tiga piring berusia 800 tahun peninggalan Dinasti Sung juga ditaksir ratusan juta rupiah.
Tiga piring berbeda ukuran itu bermotof ikan, sisik ikan timbul berwarna putih, menurut Tengku, itu ciri-ciri peninggalan Dihasti Sung, berdasarkan buku yang ia baca.
Keturunan Raja Lingga itu juga mengoleksi berbagai jenis uang koin tua di antaranya koin viktoria, yang pada badan koin tercantum tahun 1883. Ada juga uang satu dolat Hongkong tahun 1867. Di rumahnya, ANTARA juga melihat tiga gramophon buatan Inggris dan Amerika, produksi 1889 dan 1887. “Semuanya ditemukan di sekitar Lingga,” katanya.  

Kerajaan Lingga


Kerajaan Lingga atau dalam bahasa gayo linge (Suara) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri disana dan dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat, dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi putra bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Dinasti Lingga

1. Raja Lingga I di Gayo
  • Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
  • Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
  • Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah.
Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era yaitu:
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Mata Uang Kerajaan Lingga

"Mata Uang Kerajaan Lingga"
Mata uang Pa berupa uang emas. Sisi pertama tercantum gambar seorang laki-laki memegang tombak. Disisi sebelah lagi tercantum tulisan dalam bahasa arab: Allah, Muhammad, Abubakar, Umar, Usman dan Ali serta ditengahnya tertulis PA Lingga, artinya uang Pa Kerajaan Lingga (Sumber: Mahmud Ibrahim, 2003)
Foto : Syukri Muhammad Syukri, Nov 2010